Pentingnya Metakognisi dalam Membaca Komprehensif
Teks berbagai Bidang Studi
Oleh:
Beniati Lestyarini, FBS, UNY, 2010
Pendahuluan
Peningkatan kualitas sumber daya manusia tidak bisa dilepaskan dari
kegiatan membaca. Kegiatan membaca dapat dipandang sebagai kegiatan dasar untuk
memperoleh ilmu pengetahuan yang dibutuhkan manusia agar dapat mencapai
kemajuan hidup. Membaca adalah sebuah kegiatan sine quo non dalam seluruh
proses pendidikan. Segala bidang baik yang berkaitan dengan ilmu maupun budaya
tidak akan dapat dikaji dan diperoleh tanpa kegiatan membaca.
Paradigma
tentang hakikat dan tujuan pembelajaran membaca lebih menekankan pada kemampuan
memahami teks bacaan. Pemahaman terhadap teks bacaan tersebut tentunya memiliki
standar yang dapat dijadikan tolok ukur apakah pembaca benar-benar telah
memahami dan menguasai kandungan teks bacaan (content area) atau belum.
Pembelajaran membaca yang termasuk dalam pembelajaran bahasa menjadi satu hal
yang pokok dan tidak bisa dikesampingkan oleh sekolah sebagai institusi
pendidikan yang menjangkau perwujudan budaya literasi (baca-tulis) bagi
siswa-siswanya.
Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Nida dan Harris (Tarigan, 1981: 1) bahwa keterampilan
berbahasa mencakup empat komponen, yaitu keterampilan menyimak (listening
skills), keterampilan berbicara (speaking skills), keterampilan membaca
(reading skills), serta keterampilan menulis (writing skills). Keempat
keterampilan berbahasa tersebut saling berkaitan dan tidak dapat berdiri
sendiri. Namun keempat keterampilan berbahasa tersebut dapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu komunikasi tatap muka serta komunikasi tidak tatap muka
(Tarigan, 1981: 2). Komunikasi tatap muka terdiri dari keterampilan menyimak
yang bersifat langsung, apresiatif, reseptif, dan fungsional serta keterampilan
berbicara yang bersifat langsung, produktif, dan ekspresif. Sementara itu,
komunikasi tidak tatap muka meliputi keterampilan membaca yang bersifat tidak
langsung, apresiatif, reseptif, dan fungsional serta keterampilan menulis yang
bersifat tidak langsung, produktif, dan ekspresif. Dari pengelompokan yang
dikemukakan oleh Tarigan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan
berbicara sangat erat kaitannya dengan kegiatan menyimak sedangkan kegiatan
membaca sangat erat kaitannya dengan kegiatan menulis.
Pada
bagian sebelumnya telah dinyatakan bahwa sekolah memiliki peran penting dalam
mewujudkan budaya literasi bagi siswa-siswanya. Pembelajaran membaca khususnya
pada siswa sekolah diupayakan sedemikian rupa dengan mengintegrasikannya dengan
keterampilan menulis. Namun tidak tertutup kemungkinan pengintegrasian
keterampilan membaca dengan kajian dari disiplin ilmu yang lain, misalnya
psikologi. Hal ini dikarenakan oleh adanya proses-proses mental di dalam otak
atau minda manusia yang terlibat ketika seseorang berbahasa (Dardjowijojo, 2003: 7). Oleh
karena itu, dalam ilmu bahasa interdisipliner dikenal psikolinguistik yang
merupakan integrasi dari dua disiplin ilmu , yaitu psikologi dan linguistik.
Keterampilan membaca yang merupakan salah satu keterampilan berbahasa
tentunya tidak dapat terlepas dari peranan psikologi dalam upaya pemahaman
terhadap bacaan. Hal ini sejalan dengan uraian Baker dan Brown (Thierney, 1990:
302) mengenai kemampuan pembaca yang dikaitkan dengan psikologi pengajaran
bahasa. Mereka menguraikan bahwa pembaca sebenarnya memiliki kemampuan metakognisi
yang seringkali tidak disadari atau diketahui oleh pembaca sendiri. Kemampuan
metakognisi ini sangat berperan dalam upaya untuk memahami materi bacaan.
Bahasa
memiliki peranan yang sangat penting dalam mempelajari berbagai bidang ilmu. Hal
ini dikarenakan bahasa berfungsi sebagai alat untuk mengkomunikasikan berbagai
bidang ilmu tersebut sehingga keterampilan berbahasa mutlak diperlukan.
Tuntutan kebutuhan untuk menguasai berbagai bidang ilmu ini tentunya harus
disikapi secara arif. Dalam bidang pengajaran, pengetahuan dan keterampilan
berbahasa digunakan untuk mempelajari materi pelajaran (content area material)
baik bidang ilmu sosial dan budaya seperti sejarah, ekonomi, geografi, bahasa
dan sastra, maupun bidang ilmu eksakta
seperti fisika, matematika, biologi, dan kimia. Keterampilan membaca dan
menulis merupakan keterampilan yang harus dikuasai oleh guru dan siswa untuk
mempelajari berbagai bidang ilmu tersebut.
A. Pengertian
Metakognisi
Secara
etimologis, Istilah metakognisi yang dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan
metacognition berasal dari dua kata yang dirangkai yaitu meta dan kognisi
(cognition). Istilah meta berasal ari bahasa Yunani μετά yang dalam bahasa
Inggris diterjemahkan dengan after, beyond, with, adjacent), adalah suatu
prefik yang digunakan dalam bahasa Inggris untuk menjukkan pada suatu abstraksi
dari suatu konsep. (Wikipedia, Free Encyclopedia, dalam Kuntjojo, 2009),
sedangkan cognition, menurut Ensklopedia tersebut berasal dari bahasa Latin
yaitu cognoscere, yang berarti mengetahui (to know) dan mengenal (to
recognize). Kognisi, disebut juga gejala-gejala pengenalan, merupakan “the act
or process of knowing including both awareness and judgement”. Merujuk pada
kedua istilah tersebut, matakognisi dapat diartikan secara sederhana sebagai
the process beyong the process of knowing atau proses didalam proses
pengetahuan atau proses di dalam proses mengethui sesuatu.
Secara historis,
istilah metakognisi diperkenalkan oleh Flavel yang diartikan sebagai
kemampuan seseorang untuk mengontrol bermacam-macam aktivitas kognitif
(Muisman, 2002: 24-26). Metakognisi terdiri dari pengetahuan metakognitif
(metacognitive knowledge) dan pengalaman atau regulasi metakognitif
(metacognitive experiences or regulation). Pengetahuan metakognitif menunjuk
pada diperolehnya pengetahuan tentang proses-proses kognitif, pengetahuan yang
dapat dipakai untuk mengontrol proses kognitif. Sedangkan pengalaman
metakognitif adalah proses-proses yang dapat diterapkan untuk mengontrol aktivitas-aktivitas
kognitif dan mencapai tujuan-tujuan kognitif. Kemampuan ini dilakukan melalui
aksi-aksi diantara empat kelas fenomena, antara lain pengetahuan metakognisi,
pengalaman-pengalaman metakognisi, tujuan atau tugas, dan aksi atau strategi
(Kuntjojo, 2009: 1). Sementara itu, Livingstone (1997) mendefinisikan
metakognisi sebagai thinking about thinking atau berpikir tentang berpikir.
Metakognisi, menurutnya adalah kemampuan berpikir di mana yang menjadi objek
berpikirnya adalah proses berpikir yang terjadi pada diri sendiri. Ada pula
beberapa ahli yang mengartikan metakognisi sebagai thinking about thinking,,
learning to think, learning to study, learning how to learn, learnig to learn,
learning about learning (NSIN Research Matters lewat Kuntjojo, 2009: 1).
Pengetahuan metakognisi merupakan pengetahuan yang diperoleh
siswa tentang proses-proses kognitif yaitu pengetahuan yang bisa digunakan
untuk mengontrol proses-proses kognitif. Pengalaman metakognisi melibatkan
strategi atau pengaturan metakognisi. Strategi metakognisi merupakan proses
yang berurutan yang digunakan untuk mengontrol aktivitas kognitif dan
memastikan bahwa tujuan kognitif telah dicapai. Proses ini terdiri dari:
1) perencanaan
yang meliputi penentuan tujuan dan analisis tugas. Aktivitas perencanaan akan
mempermudah pengorganisasian dan pemahaman materi pelajaran,
2) pemantauan
yang meliputi perhatian seseorang ketika ia membaca dan membuat pertanyaan atau
pengujian diri. Aktivitas pemantauan akan membantu siswa dalam memahami materi
dan mengintegrasikannya dengan pengetahuan awal, dan
3) evaluasi
atau pengaturan yang berupa perbaikan aktivitas kognitif siswa. Aktivitas ini
akan membantu peningkatan prestasi dengan cara mengawasi dan mengoreksi
perilakunya pada saat menyelesaikan tugas.
B. Metakognisi
dalam Pemahaman Membaca
Baker dan Brown (Tierney, dkk, 1980: 302) mengungkapkan hal
yang sejalan dengan pemanfaatan kemampuan metakognisi yang sebenarnya dimiliki
oleh seorang pembelajar. Mereka menyatakan bahwa pembaca efektif adalah
individu yang memiliki kemampuan metakognisi, antara lain:
1) menjelaskan
tujuan membaca dengan memahami pertanyaan teks baik eksplisit maupun implisit,
2)
mengidentifikasi aspek yang penting dari pesan teks,
3) memberikan
fokus perhatian pada kandungan pokok teks,
4) memonitor
aktivitas secara terus menerus untuk menetapkan ukuran kemampuan,
5) melibatkan
pertanyaan mandiri untuk menentukan apakah tujuan telah tercapai, dan
6) melakukan
langkah atau tindakan korektif jika ada
kegagalan yang ditemukan.
Pada sumber lain, pernyataan tentang strategi metakognisi
ini didukung oleh Armbruster, Achols, and Brown (Vacca dan Jo Anne, 1989: 221)
yang mengungkapkan sebelum pembelajar dapat menggunakan strategi belajar yang
efektif dia harus sadar dan memperhatikan teks, tugas, dan diri sendiri, serta
bagaimana dia akan berinteraksi dalam belajar. Sementara itu, Brown, Caverly
& Orlando, Jenkins, Nist (Caverly, 1997: 28) mengemukakan model tetrahedral
dalam belajar yang meliputi materi, diri, strategi, dan tugas.
Gambar 1. Model Tetrahedral Belajar (Caverly, 1997)
Dari bagan model tetrahedral di atas dapat diartikan bahwa
aktivitas belajar tidak dapat terlepas dari empat komponen, yaitu diri pembelajar,
materi belajar, strategi belajar, serta tugas. Diri pembelajar adalah pembaca
yang dipengaruhi oleh beberapa faktor ketika membaca bacaan misalnya latar
belakang pengetahuan, tingkah laku, minat, serta motivasi untuk memahami bahan
bacaan. Materi belajar merupakan bahan bacaan atau teks bacaan yang memiliki
struktur dan jenis yang berbeda-beda. Bahan bacaan dapat mempengaruhi pembaca dalam memahami bacaan.
Strategi belajar menyangkut perencanaan yang dilakukan sebelum membaca melalui
pemilihan dan penerapan cara dan teknik membaca untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan. Pengawasan (monitoring) sangat diperlukan dalam menerapkan strategi
belajar. Sementara itu tugas merupakan sarana untuk meningkatkan kemampuan
memahami bacaan (Caverly, 1997: 28-33).
Karakteristik pembelajaran yang mendayagunakan kemampuan
metakognisi pada umumnya belum terlihat pada proses pembelajaran di sekolah.
Guru dianggap sebagai pemberi ilmu dan siswa berada dalam keadaan kosong
sehingga siswa hanya menerima pengetahuan. Padahal, kemampuan yang ada dalam
diri siswa sangat beragam dan jika dimanfaatkan dengan baik dapat membuat
proses belajar lebih efektif, termasuk dalam membaca. Dalam Models of Teaching
(Joyce dan Marsha, 1996: 51) disebutkan bahwa dalam metakognisi ada proses “letting
the student in on the secret” sehingga siswa dapat membangun sendiri
pengetahuan dan kemampuan mereka, memutuskan strategi belajar apa yang akan
digunakan, pemecahan masalah, dan menemukan sendiri ilmu yang akan dipelajari.
Metakognisi dalam membaca untuk studi diartikan sebagai
pengetahuan pembelajar tentang strategi dan kemampuan untuk memperluas
pengetahuan untuk memonitor proses membaca yang dilakukan (Vacca dan Jo Anne,
1989: 220). Siswa sebagai pembelajar yang mandiri senantiasa mengetahui mengapa,
bagaimana, dan kapan mereka menggunakan strategi membaca. Dalam diri
mereka tumbuh kesadaran untuk mendiri
dan menganalisis tujuan kegiatan membaca, mengidentifikasi apa yang sudah
diketahui dan yang belum diketahui, merencanakan proses membaca agar terlaksana
dengan baik, serta mengevaluasi hasil kegiatan membaca yang mereka lakukan.
Dalam sumber yang sama, Vacca dan Jo Anne (1989: 223)
mengemukakan ada empat dasar kerja metakognisi dalam memahami teks berbagai
bidang studi antara lain penilaian (assessment), kesadaran (awareness), model
dan demonstrasi (modelling and demonstration), serta penerapan (application).
Penilaian yang dilakukan akan membantu guru dalam mengetahui kemampuan
siswanya. Kesadaran lebih mengarah kepada siswa agar sadar mengapa dan
bagaimana strategi strategi belajar diterapkan. Sebagai tindak lanjut dari
upaya penyadaran siswa maka diperlukan modeling dan demonstrasi oleh guru,
penjelasan, praktik, serta penguatan prosedur, sedangkan penerapan lebih
mengacu pada praktik-praktik yang dilakukan.
Metakognisi terdiri dari tiga elemen dasar (North Central
Regional Educational Laboratory, 1995). Ketiga elemen tersebut antara lain
menyusun rencana, memonitor rencana, dan mengevaluasi rencana. Dalam menyusun
rencana, pembaca harus mengetahui apa yang akan dilakukan pertama kali sebelum
membaca teks, mengapa membaca teks tersebut, berapa waktu yang akan digunakan
untuk membaca, dan lain-lain. Pada kegiatan memonitor rencana pembaca harus
sadar bagaimana kegiatan membaca dilakukan dan dimana posisi pemahaman membaca,
apakah masih dalam level rendah, sedang, atau sudah benar-benar paham. Kemudian
apa yang akan dilakukan jika belum memahami bacaan. Sementara itu, dalam
mengevaluasi rencana pembaca harus sadar
mengenai kegiatan membaca yang telah dilakukan, apakah sudah baik atau
belum, serta bagaimana mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari dalam bidang
atau masalah lain. Ketiga elemen ini merupakan kemampuan metakognisi yang
membantu pembaca untuk mengetahui secara pasti posisi pembaca dalam kegiatan
membaca yang dilakukan sehingga dapat digunakan sebagai upaya peningkatan
pemahaman membaca.
C. Membaca Teks
Berbagai Bidang Studi
Seluruh
disiplin ilmu dalam segala bidang kehidupan akan tercapai eksistensinya melalui
kegiatan membaca. Hal ini bukan sesuatu yang mustahil sebab ilmu diperoleh
paling banyak melalui kegiatan membaca. Manfaat dari kegiatan membaca sendiri
ada pada penggunaannya. Keterampilan membaca harus dapat digunakan dalam
berbagai disiplin ilmu untuk mempelajari materi yang berada di dalamnya.
Membaca untuk belajar inilah yang sering disebut sebagai content area reading
(Vacca dan Jo Anne, 1989: 3). Hal senada juga dikemukakan oleh Freeman (2000:
138) bahwa:
When students study academic subjects in nonactive language,
they will need a great deal of assistance in understanding subject matter
texts; therefore, there must be clear language objectives as well as content
learning objectives.
(ketika siswa mempelajari materi nonbahasa, mereka harus
memahami materi yang berupa teks; karena itu harus ada pemahaman bahasa
sebagaimana memahami materi yang dipelajari).
Morgan, dkk (Syamsi: 2006: 225) menguraikan ada sepuluh
prinsip pemahaman membaca dalam berbagai bidang studi. Kesepuluh prinsip itu
antara lain:
1) membaca
dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman,
2) seni
berkomunikasi mengembangkan proses berpikir dan belajar dalam berbagai bidang
pelajaran,
3) kegiatan
literasi tidak hanya berupa seni berkomunikasi tetapi juga visual literacy,
4) membaca harus merupakan pengalaman yang
berharga,
5) praktik
membaca kritik lebih memungkinkan berpikir dan belajar dapat diukur,
6) kegiatan
membaca bermakna harus dimulai sejak dini dan berlangsung seumur hidup,
7) guru perlu
menahan diri dari pengajaran yang semu
8) semua siswa
berhak mendapatkan pelajaran pada semua mata pelajaran yang memungkinkan mereka
untuk belajar,
9) guru harus
menggunakan berbagai perangkat yang memungkinkan siswa menguasai mata
pelajaran, serta
10) pembelajaran
membaca dalam berbagai mata pelajaran harus memungkinkan siswa menjadi
pembelajar yang mandiri.
Berbagai
pendekatan, metode, maupun teknik dalam membaca harus senantiasa diaplikasikan
dalam kegiatan belajar mengajar di berbagai bidang ilmu atau pelajaran. Hal ini
dapat menjadikan kegiatan belajar mengajar di kelas ataupun di luar kelas lebih
efektif dan sekaligus menyenangkan. Gina (1987: 55) mengemukakan tentang betapa
pentingnya mempelajari ilmu bahasa untuk diterapkan dalam upaya mempelajari
berbagai materi dalam segala bidang. Kemampuan dan strategi membaca
diaplikasikan dalam berbagai mata pelajaran untuk mempelajari materi pelajaran
agar lebih efektif.
Anderson, dalam
Becoming a Nation of Readers (Cox, 1999: 272), merekomendasikan beberapa hal
yang dapat digunakan untuk mengajarkan membaca, yakni sebagai berikut.
1) Siswa diajak
untuk memperoleh makna dari berbagai teks
mata pelajaran.
2) Siswa diajak
membaca keras.
3) Aktivitas
belajar memuat berbagai jenis pengalaman dan pengetahuan serta menggunakannya
secara bersama-sama.
4) Siswa diberi
kesempatan untuk memilih sendiri teks atau buku yang akan dibaca
Dalam
mempelajari teks dari berbagai bidang studi, siswa dituntut untuk mengetahui
makna teks bacaan agar dapat mengerjakan tugas, menganalisis tugas, membuat
perencanaan dalam membaca, serta menggunakan strategi yang tepat dalam membaca.
Hal ini dimaksudkan agar proses belajar mengajar khususnya membaca dan
mempelajari ilmu dari berbagai bidang studi menjadi efektif dan siswa dapat
melaksanakan proses pembelajaran mereka secara mandiri (Vacca dan Jo Anne,
1989: 218). Ada empat faktor yang sangat berpengaruh pada proses pembelajaran
diantaranya karakteristik pembelajar atau siswa, materi yang diajarkan,
strategi belajar dan membaca, serta tugas. Hal ini sejalan dengan bentuk
tetrahedral yang dimukakan pada bagian sebelumnya.
Penutup
Membaca
merupakan suatu keterampilan berbahasa yang sangat penting sekali. Pembelajar
yang baik adalah pembelajar yang mengetahui dan sadar atas proses yang
dilakukan. Metakognisi dapat dipandang sebagai salah satu elemen yang penting
sekali dalam mencapai tingkat pemahaman membaca. Pengetahuan tentang
metakognisi dapat menuntun pembaca untuk mengetahui segala aspek yang dapat
memperlancar proses membaca, yaitu dari fase sebelum membaca sampai apa yang
akan dilakukan sesudah proses membaca selesai. Jadi, penting sekali untuk
mempelajari dan mengetahui proses-psoses metakognisi.
Studi tentang
pentingnya metakognisi sebagai salah satu elemen untuk mempermudah dan
memperlancar hendaknya senantiasa terus dikembangkan. Penelitian lebih lanjut
untuk mengimplementasikan pengetahuan metakognisi dalam kegiatan membaca dapat
memperkaya wawasan pembelajar sehingga analisis dan komparasi terhadap beberapa
studi metakognisi dapat diketahui.
Daftar Pustaka
Cantoni-Harvey, Gina. 1987. Content Area Language
Instruction: Approaches and Strategies. USA: Addison-Werley Publishing Company.
Caverly, David. 1997. Teaching Reading in a Learning
Assistance Center University of Arizona,
http://www.pvc.maricopa.edu/~lsche/proceeding/967-proc/967proc-caverly.htm.
Diakses pada 15 Agustus 2008.
Cox, Carole. 1999. Teaching Language Arts. Boston: Allyn and
Bacon.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolingusitik: Pengantar
Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Freeman, Diane Larsen. 2000. Techniques and Principles in
Language Teaching. New York: Oxford University Press.
Joyce, Bruce dan Marsha Weil. 1996. Models of Teaching.
Mars: Allyn & Bacon.
Kuntjojo. 2009. “Metakognisi dan Keberhasian Belajar Peserta
Didik”
http://ebekunt.wordpress.com/2009/04/12/metakognisi-dan-keberhasilan-belajar-peserta-didik/.
Diakses pada 14 Agustus 2009.
Muisman. 2002. “Metakognisi”, Bab II Kajian Pustaka, 24-26.
http://www. demandiri.or.id/file/muisman. Diakses pada 10 Agustus 2009.
North Central Regional Educational Laboratory. 1995.
“Strategic Teaching and Reading Project Guidebook”, http://www.info@ncrl.org .
Diakses pada 10 Agustus 2009.
Syamsi, Kastam. 2006. “Resensi Buku Reading to Learn in The
Content Areas oleh Judy S. Richardson, Raymond E. Morgan, dan Charlene Flener”,
Diksi, edisi Juli 2006. Yogyakarta:
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.
Tarigan, Henry Guntur. 1981. Berbicara sebagai Suatu
Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Tierney, R. J., J. E. Readence, dan E. K. Dieshner. 1990.
Reading Strategies and Practices: A Compendium III. Boston: Allyn and Bacon.
Vacca, Richard T. dan Jo Anne L. Vacca. 1989. Content Area
Reading. London: Scott, Foresman and Company.
Wikipedia, Free Encyclopedia. 2008. “Metakognisi dan
Keberhasilan Belajar Peserta Didik”. www.Encyclopedia.com. Diakses pada 10
Agustus 2009.