Substansi
hukum
Substansi
hukum (legal substance) dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang memberi
kontribusi besar mengguritanya praktik korupsi. Hal itu terjadi karena
substansi hukum direkayasa untuk memudahkan melakukan korupsi. Tidak hanya itu,
substansi hukum juga dirancang sedemikian rupa sehingga memudahkan mereka yang
tersangkut korupsi mengelak dari jeratan hukum. Cara paling sederhana, membuat
norma hukum yang tidak jelas atau kabur.
Substansi
hukum yang kabur itu tidak hanya memudahkan melakukan korupsi, tetapi juga
memberikan kesempatan yang luas kepada penegak hukum untuk ”menggorengnya”
sesuai kepentingan masing- masing. Bagi penegak hukum yang bekerja demi
kepentingan penegakan hukum, aturan yang tidak jelas dapat digunakan untuk
menjerat pelaku korupsi yang memanfaatkan aturan hukum yang tidak jelas itu.
Sementara bagi penegak hukum yang ingin meraih keuntungan finansial, substansi
hukum yang demikian akan diperdagangkan dengan mereka yang tersangkut kasus
korupsi.
Berkaca dari
kasus suap dengan Artalyta dan kejadian yang menimpa Glenn Yusuf, jaksa Urip
benar-benar ”menggoreng” kasus BLBI untuk menuai keuntungan finansial. Meski
belum tentu tindakan itu dilakukan jaksa Urip untuk kepentingan diri sendiri.
Namun dapat dipastikan, keberanian jaksa Urip muncul karena ia tahu persis
kelemahan substansi hukum dalam perkara BLBI.
Salah
satu substansi hukum yang potensial dan sering diperdagangkan penegak hukum
adalah adanya peluang untuk menghentikan penyidikan perkara (SP3). Mencermati
kasus BLBI, penghentian sejumlah perkara dilakukan karena alasan tidak cukup
bukti. Setelah kasus suap jaksa Urip dan Artalyta terungkap ke permukaan,
alasan tidak cukup bukti sulit diterima sebagai penghentian kasus BLBI.
Dari
penjelasan itu, terkuaknya penyimpangan yang dilakukan penegak hukum dalam
pemberantasan korupsi dipicu oleh kelemahan substansi hukum. Kelemahan itu
dimanfaatkan secara bersama-sama oleh koruptor dan penegak hukum untuk
membangun relasi simbiosis mutualisme. Karena itu, amat jarang pelaku korupsi
dijatuhi pidana maksimal. Sampai sejauh ini, mungkin hanya sepak terjang KPK
yang mampu sedikit mengkhawatirkan koruptor.
Langkah
progresif
Untuk
keluar dari jerat korupsi yang menggurita, harus dimulai langkah-langkah
progresif berupa pembenahan substansi hukum, shock therapy bagi penegak hukum
dan pelaku tindak pidana korupsi.
Untuk
substansi hukum, diperlukan political will untuk mereformasi semua aturan yang
memudahkan terjadinya tindak pidana korupsi. Melihat aturan hukum yang ada,
tidak mungkin menghambat laju praktik korupsi yang telah menghancurkan
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan negara. Bagaimanapun, menunda reformasi
substansi hukum sama dengan mempercepat negeri ini masuk jurang kehancuran.
Sementara
itu, penegak hukum yang memperdagangkan perkara korupsi harus diberi
shock-therapy dengan menjatuhkan hukuman maksimal. Untuk itu, dengan tingkat
perbuatan yang begitu memalukan, orang seperti jaksa Urip harus dihukum pidana
maksimal. Memberikan hukuman ringan kepada penegak hukum yang memperdagangkan
kasus korupsi tentu tidak akan memberi efek jera.
Khusus
untuk pelaku korupsi, usulan memberi tanda ”EK” (eks koruptor) di KTP atau
dengan mengucilkan dalam pergaulan masyarakat masih jauh dari cukup. Langkah
progresif lain yang harus dilakukan, misalnya, bagi yang sedang dalam proses
hukum, dalam setiap penampakan ke publik (seperti hadir dalam persidangan)
harus memakai pakaian tahanan. Selain itu, bagi yang sudah dinyatakan bersalah
dan dijatuhi hukuman tidak lagi diberi fasilitas pengurangan hukuman. Mereka
harus menjalankan hukuman penuh sesuai putusan pengadilan.
Saya
percaya, tanpa langkah progresif, negeri ini tidak akan pernah keluar dari
jeratan korupsi. Bagian dari sejarah negeri ini menceritakan kepada kita, VOC hancur
karena korupsi. Apakah kita sedang membiarkan sejarah itu berulang?
STRUKTUR
HUKUM
Komponen
yang disebut dengan struktur adalah kelembagaan diciptakan oleh sistem hukum
seperti pengadilan negeri, pengadilan administrasi, yang mampunyai fungsi untuk
mendukung bekerjanya sistem hukum itu sendiri. Komponen tersebut memungkinnya
adanya pelayanan dan pelaksanaan hukum secara teratur. Kondisi sekarang ini
terjadi penurunan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional
terhadap badan peradilan. Keadaan badan peradilan yang demikian tidak dapat
dibiarkan berlangsung secara terus menerus perlu dilakukan upaya progresif dan
renponsif untuk menanggulangi hal tersebut.
Penurunan
kepercayaan dan kewibawaan peradilan dikarenakan lemahnya kepemimpinan
manajemen perkara, lemahnya pengawasan internal, rendahnya kredibilitas hakim,
rendahnya integritas dan profesionalitas hakim. Seperti diketahui bersama bahwa
belum lama ini Artalyta Suryani (Ayin) divonis lima tahun penjara oleh
pengadilan yang memeriksanya terkait dengan kasus suap, menurut penulis hal
tersebut tidak sebanding dengan kejahatan dan kerugian yang dialami negara,
sebelum itu juga terdapat permasalahan di lingkungan Mahkamah Agung yaitu kasus
suap Probosutedjo, namun kasus tersebut sangat sulit dibuktikan bahkan tidak
dapat menjerat ketua MA Bagir Manan, ataupun putusan bebas Akbar Tandjung, dan
kemungkinan juga perkara yang diperiksa diluar kemampuan hakim yang dikeranakan
kompleksitas perkaradan juga terdapat kelemahan (Weakness) lembaga kehakiman
adalah manajemen pengelolaan modal tenaga intelektual belum berjalan baik
termasuk rekrutmen dan juga promosi hakim yaitu belum adanya penyaringan tenaga
hakim yang cerdas jujur dan beraniUntuk mengatasi hal tersebut haruslah
terdapat suatu reformasi lembaga peradilan yang melibatkan beberapa aspek yaitu
perubahan administrasi hakim dan pembenahan kualitas hakim.
Penting
melakukan reformasi yang mendasar terhadap sistem peradilan, tidak saja
menyangkut penataan kelembagaan (institutional reform) ataupun menyangkut
mekanismeaturan yang bersifat instrumental (instrumental atau procedural
reform), tetapi juga menyangkut personalitas dan budaya kerja aparat peradilan
serta perilaku hukum masyarakat yang cenderung kurang optimal.
Faktor
lain yang yang perlu diperlihatkan dalam upaya pembangunan penegakan hukum yang
akuntabel adalah proses rekrutmen personel penegak hukum yang dalam hal ini
adalah hakim. Penegakan hukum yang akuntabel juga menyangkut the scientific
investigation of legal problem, maka dari itu diperlukan penegak hukum yang
memiliki insting yuridis yang tajam dalam segala kebutuhan masalah hukum dan
menyelesaikannya secara cepat, tepat, adil dalam rangka mewujudkan peradilan
yang murah, cepat dan tentunya adil. Sehingga tidak menimbulkan justice denied.
Bisa juga proses penyelesaian kasus hukum secara berkualitas menuntut adanya
pendidikan berkelanjutan Continuing Legal Education (CLE) bagi para penegak
hukum.
Dalam
menyelesaikan kasus korupsi sebagai extra ordinary crime bukanlah mudah bila
mengacu ataupun menggunakan sistem hukum yang ada sekarang ini, dan pemeriksaan
harus dilakukan dengan menggunakan dengan cara yang tidak biasa ataupun dengan
kebijakan integral baik itu penal maupun non penal dengan memperhatikan faktor
kriminogen terbentuknya suatu kejahatan misalnya keberanian hakim untuk
menggunakan asas pembuktian terbalik dan asas peradilan in absentia karena
sistem peradilan yang sekarang ini ataupun hukum positif sekarang kurang dapat
menjerat dan mengatasi persoalan yang akan dihadapi sehingga dibutuhkan suatu
pemikiran progresif yaitu dengan memperhatikan faktor-faktor non yuridis dalam
penegakan hukum.
Penegakan
hukum Progresif menjadi prioritas alternatif yang wajib digunakan dalam
penanggulangan kasus seperti kasus korupsi. Karena penaggulangan seperti
sekarang ini adalah bersifat sistemik dan cenderung statis serta monoton
sehingga Indonesia akan menjadi surga bagi pelaku kejahatan. Dalam penegakan
hukum yang progresif memerlukan adanya penegak hukum yang mempunya integritas
tinggi berserta moral yang baik. Hakim Amerika mengatakan” berikan aku penegak
hukum yang baik dan dengan Undang-Undang yang buruk niscaya keadilan akan
tercapai”, lebih dari itu juga dituntut adanya ideologi penegak keadilan yang
berorientasi nilai keadilan.
BUDAYA
HUKUM
(LEGAL
CULTURE)
Hukum
bukan sekedar alat yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan tertentu, tetapi
merupakan perangkat tradisi, obyek pertukaran nilai yang tidak netral dari
pengaruh sosial dan budaya
Hukum
harus dilihat sebagai suatu sistem yang utuh.
Pengertian
Sistem :
a.
Berorientasi pada satu tujuan
b. Lebih
dari sekedar jumlah dari bagian-bagian
c.
Berinteraksi dengan sistem lain yang lebih besar
d.
Bekerjanya bagian-bagian menciptakan sesuatu
yang
berharga.
Secara
Sosiologis : hukum sebagai sistem nilai yang merupakan sub sistem dari sistem
sosial (T. Parsons)
Budaya :
Berfungsi sebagai kerangka normatif dalam kehidupan manusia à menentukan
perilaku
Budaya
berfungsi sebagai sitem perilaku
Budaya
hukum sangat mempengaruhi efektifitas berlaku dan keberhasilan penegakan hukum
Hukum
merupakan konkretisasi nilai-nilai sosial yang terbentuk dari kebudayaan
Kegagalan
hukum modern seringkali karena tidak compatible dengan budaya hukum masyarakat
(Misal : UU PemDes 9/1975).
Budaya
Hukum :
a.
Internal Legal Culture : kultur yang dimiliki oleh struktur hukum
b.
External Legal Culture : kultur hukum masyarakat pada umumnya
Mengubah
kultur hukum yang berkarakter individual-liberal menjadi
kolektivtas-sosial-religius disadari bukan pekerjaan mudah dan ringan untuk
bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Mengubah kultur hukum senantiasa harus
paham tentang nilai-nilai, tradisi, kebiasaan, dan segala sikap dominan yang
umumnya berlaku dalam segala aspek kehidupan. Kompleksitas kehidupan dan derasnya
nilai-nilai Barat yang merasuk lewat arus globalisasi menjadikan nilai-nilai
domestik tergerus dan termarginalkan, bahkan hilang dari sanubari terdalam
warga negara dan bangsa.
Tiada
cara yang lebih efektif untuk penyadaran masalah penanaman nilai-nilai
kolektivitas-sosial-religius itu kecuali dengan pendidikan budi pekerti,
karakter, agama, dan nasionalisme. Agenda akademik dan pedagogik sudah tentu
amat penting untuk masa depan dalam rangka pencegahan terhadap meluasnya wabah
korupsi pada generasi penerus. Tetapi, untuk situasi yang telah telanjur
berantakan saat ini, tentu dibutuhkan agenda aksi yang tegas dan nyata
(affirmative action). KPK telah mengawali, memberi contoh sekaligus menunjukkan
komitmennya dalam pemberantasan korupsi secara tegas dan nyata. Belum lama ini,
para tokoh lintas agama, para tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM), forum
rektor, dan berbagai elemen masyarakat telah bergeliat memberikan dukungan dan
merapatkan barisan untuk bersama-sama memerangi korupsi kolektif.
Retorika
politik di berbagai media dengan berkilah dan pernyataan berputarputar, selain
terkesan defensif, juga tidak menyelesaikan masalah, justru semakin memicu
kemarahan massa. Kalau memang, para politisi, advokat, jajaran kepolisian, dan
kejaksaan tidak sanggup ikut serta dalam barisan perang antikorupsi, lebih baik
minggir atau mundur untuk memberi jalan lapang bagi kelancaran dan kesuksesan
pemberantasan korupsi.
Jangan
menghalang- halangi dan jangan menjadi duri dalam daging bangsa sendiri. Awas,
menghalang-halangi bisa dipersepsikan sebagai bagian dari mafioso dan akan
digilas pula oleh tank-tank antikorupsi.(*)
Dilihat
dari awal mula kejadiannya, semua jenis kejahatan (termasuk korupsi) selalu
dimulai dari pelanggaran hukum di bidang keuangan yang kuantitasnya kecil dan
kualitasnya rendah. Virus-virus kejahatan demikian itu akan segera menjadi
besar dan mewabah apabila didukung oleh situasi lingkungan yang serbamiskin
(terutama miskin iman), permisif, dan kontrol hukum yang lemah.Kultur hukum
kita akhir-akhir ini cenderung kuat menunjukkan ada situasi yang serba negatif
itu. Berlakulah pepatah Jawa ”kriwikan dadi grojogan”, artinya dari kejahatan
kecil per individu dengan cepat menjadi kejahatan besar (kolektif).
Kini,
korupsi itu sudah merupakan kejahatan kolektif. Bahasa hukum menyebutnya
sebagai extraordinary crime. Korupsi bukan lagi merupakan kejahatan biasa dan
bersifat per individu, melainkan telah menjelma sebagai kejahatan luar biasa
yang bersifat kolektif. Syed Hussein Naser (1968) menyebut perkembangan korupsi
yang sedemikian meluas itu sebagai widespread, deeply rooted. Apabila
perkembangan itu tidak bisa dihentikan dengan pemberantasan secara tuntas,
dipastikan tinggal selangkah lagi sampai pada kehancuran masyarakat, bangsa,
dan negara.
Analisa
:
Kita
sudah tentu sangat khawatir dan risau dengan kegagalan pemberantasan korupsi
selama ini. Dari aspek hukum terlihat sekali bahwa metode konvensional
pemberantasan korupsi dengan bertumpu kepada teks-teks dan prosedur yang
tertulis dalam perundang- undangan (hukum positif) ternyata sangat mudah
dipatahkan oleh mafioso untuk meloloskan diri dari jeratan hukum. Pengalaman
pedih seperti itu mestinya cukup memberikan pelajaran bagi kita, khususnya para
aparat penegak hukum untuk segera menemukan metode lain yang juga tergolong
extraordinary.
Sudah
tentu, metodenya pun harus tergolong luar biasa. Ini baru ada korespondensi dan
benar menurut logika hukum. Metode penegakan hukum yang kita pilih harus lebih
unggul dan bisa mengatasi perkembangan korupsi itu sendiri. Jangan sampai
aparat penegak hukum terbirit-birit jauh tertinggal dari gesit dan lincahnya
lari para koruptor. Kita wajib menemukan metode baru yang antisipatif sekaligus
represif terhadap perkembangan korupsi. Penegakan hukum dalam rangka pemberantasan
korupsi harus dilakukan dengan sikap kritis, kreatif, dan inovatif. Sikap
kritis diperlukan tertuju kepada doktrin-doktrin hukum individual-liberal yang
masih kuat mengakar pada hukum pidana. Dari sikap kritis itu diharapkan muncul
keberanian untuk melakukan dekonstruksi ke arah doktrin baru yang berkarakter
kolektivitas-sosial-religius.
Kita
wajib mencegahnya. Inovasi hukum dan penegakan hukum menjadi penting dilakukan.
Secara ringkas dan padat, Satjipto Rahardjo (alm) merangkum sikap kritis,
kreatif, dan inovatif dalam penegakan hukum (termasuk pemberantasan korupsi)
dengan satu kata yaitu ”progresif”. Dalam alur pikir dan semangat yang
”progresif” itulah, kita perlu memberikan dukungan penuh kepada KPK yang telah
melangkah dengan penahanan terhadap 19 dari 26 tersangka korupsi kolektif (para
anggota DPR periode 1999-2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar